LAKKANG

by

(12 april 2011, Sebuah perjalanan bersama the cuekz, angga dan kidung)


Papan kayu yang kelihatan lapuk itu bergoyang tidak stabil di bawah pijakan  dan langkah demi langkah kaki kami, susunan kayu yang terapung nyaris berbentuk persegi serupa rakit dengan dudukan kayu di sisi kiri dan kanan itu terlentang di hadapan kami. Dengan hati-hati kami menapakkan kaki di atas perahu berbentuk nyaris persegi itu, sulit dipercaya papan-papan yang kelihatan tua dan rapuh ternyata bisa menopang delapan penumpang ditambah dua sepeda motor.
Suara mirip gemuruh kecil  sempat mengagetkan kami, suara itu tidak lain adalah suara mesin perahu. Tidak disangka alat transportasi dengan rupa yang sangat minimalis itu juga mengandalkan mesin sebagai alat pendorongnya untuk sampai ke tujuan. Akhirnya perahu yang kami tumpangi melaju di atas kelokan sungai Tallo yang tenang, Desa Kera-kera  tempat perahu tadinya bersandar menunggu kami perlahan menghilang dari pandangan. Angin dengan riang menerpa tubuh kami, dari kejauhan terlihat jejak keangkuhan kota mengepul dari pabrik industri, asapnya perlahan bergabung bersama awan kelabu yang menaungi kota Makassar sore itu.
Sejauh mata memandang, di segala sisi kami hanya melihat sungai dengan sejenis tanaman bakau di sisi kiri dan kanan , berjajar mantap seakan sengaja ditata untuk menjadi penanda batas jalur yang kami tempuh. Air sungai berwarna kecoklatan mengingatkan warna kopi susu encer. Awalnya cuaca amat bersahabat hingga perlahan tetes demi tetes air  berubah menjadi guyuran air langit, semakin lama semakin deras. Keadaan di atas perahu menjadi tidak stabil karena sedikit kebingungan dan kepanikan dari kami yang tidak siap bertemu hujan saat itu. Nahkoda mematikan mesin perahu, mencoba mengendalikan situasi dengan menawarkan mantel hujan, jadilah kami berteduh di bawah mantel hujan dengan agak dipaksakan. Mesin kembali dinyalakan , perjalanan pun dilanjutkan .Lama kelamaan lengan terasa letih menahan ujung mantel agar guyuran hujan tidak membuat kami basah. Akhirnya kami menempuh jalan damai, kami lepaskan mantel lalu menerima ajakan hujan untuk bercengkrama bersama menikmati sajian alam kota Makassar yang tidak setiap hari bisa kami nikmati. Menit-menit terakhir kami di bawah guyuran hujan adalah menit awal kami sampai ke tujuan.
Setelah berlayar sekitar 20 menit, perahu akhirnya berlabu di sebuah pulau di tengah sungai Tallo. Pulau itu adalah sebuah desa bernama Desa ‘Lakkang’. Sebelum kaki kami menapaki tanah Desa ‘Lakkang’, dari jauh di atas perahu kami saksikan desa itu seperti iklan komersil raksasa, dengan simbol-simbol brand ternama di sana-sini.  Jelas sekali sudah ada yang datang sebelum kami.
Kami lalu menelusuri desa mencari Bunker peninggalan Jepang yang menjadi tujuan utama kami, rencana riset kecil-kecilan untuk proyek kecil-kecilan. Hari semakin sore dan kami tidak mau menghabiskan waktu untuk mempelajari peta yang terpampang dekat pintu gerbang utama desa. Kami pun melangkah dengan yakin menyusuri desa, dengan sekali bertanya dengan penduduk lokal akhirnya bertemulah kami dengan warisan sejarah yang nyaris terlupakan itu. Di mulut bunker, kami sempat menatap penasaran ke dalam gua bunker yang gelap gulita. Sayangnya, hujan yang berisiko menjadikan tanah labil membuat kami mengurungkan niat untuk menjelajah Bunker.
Dari kejauhan terdengar suara riang anak-anak desa yang sedang bermain, mata kami akhirnya melihat pemandangan itu tidak jauh dari tempat kami berpijak saat itu. Kami kembali menjelajah desa, lalu berbincang dengan penduduk setempat. Kami berusaha mencari tahu siapa kira-kira yang bisa memberikan kami informasi lebih jauh tentang Bunker peninggalan Jepang tersebut.
Akhirnya kami bertemu dengan sekumpulan warga yang sedang bercengkrama sambil menyaksikan anak-anak desa bermain bola. Warga desa sangat ramah, kami menghampiri mereka dan bertanya sedikit tentang bunker. Seorang ibu bercerita bahwa banyak pejabat penting yang telah berkunjung ke desanya, ada juga seorang pensiunan tentara Jepang yang sempat berziarah ke bunker yang menjadi saksi bisu pendudukan bangsanya di masa lalu.Beberapa dari tamu-tamu yang mereka hormati itu berjanji untuk kembali, namun tak kunjung tiba.
Berdasarkan keterangan warga, orang yang menjadi saksi hidup mengenai kebaradaan bunker di masa silam telah 'berpulang' sehari sebelum kami tiba. Untungnya kami masih memiliki sedikit harapan, warga sempat memberi informasi tentang orang lain yang mungkin punya pengetahuan tentang bunker. Sayangnya, hari semakin sore dan nyaris gelap di bawah naungan cuaca mendung kala itu, kami harus segera kembali ke kota sebelum benar-benar gelap.
Kami akhirnya berbalik pulang, beberapa kepingan film tentang Lakkang telah tersimpan dalam memori kami, hanya sedikit memang, namun perjalanan belum berakhir (semoga). Masih banyak hal yang perlu kami ketahui dan pelajari tentang Lakkang, aset yang nyaris terabaikan.