Cerita Tentang Aji
Sore itu, aku mengaduk-aduk air dengan tangan telanjang…meraba lumpur dibawahnya lalu mengaisnya dengan kuku jariku…sandal jepit warnah merah kesayanganku sulit sekali ditemukan dalam genangan air yang keruh itu, lumpurnya kenyal dan lengket, temanku Asia lalu turun tangan membantu. Akhirnya ia temukan sebelah sandal jepitku yang tersangkut di helai-helai rumput yang tenggelam karena tumpahan air langit sejak siang. Aku tidak menyangka hujan yang turun membuat jalan yang tadinya becek dan berumput menjadi rawa yang keruh dan asing bahkan kebun yang tadi kami lewati pun juga ikut terendam. Kami nyaris tidak mengenali jalan, untungnya ada pagar pembatas yang memisahkan antara kebun dan tepi sungai, hampir tidak bisa dibedakan mana sungai yang sebenarnya dan mana bagian yang hanya tergenang air, semua seperti menyatu.
Perjalanan pulang itu kedengarannya memang sangat mengganggu, namun nyatanya aku dan temanku Asia yang kala itu masih berusia kira-kira 7 tahun sangat menikmati perjalanan itu.
Sebelumnya, setelah pulang sekolah, aku bergegas pulang ke rumah yang letaknya di belakang sekolahku, kala itu SD NO.274 Awakaluku, seperti biasa aku menyantap makan siang lalu bergegas menuju rumah guru mengajiku yang selalu aku panggil “Aji” padahal beliau punya nama. Sesampainya di rumah “Aji” telah sampai temanku Asia, dan Nahasia yang tidak lain adalah cucu dari “Aji”. Mereka menyampaikan kabar gembira, bahwa “Aji” tidak di rumah, artinya hari itu kami bebas . Namun, ternyata ada gagasan lain yakni “menyusul Aji ke Sawah???”Percaya atau tidak saat itu gagasan menyusul ke Sawah membuatku bersemangat, ini pertama kalinya mengunjungi sawah milik “Aji” tempat ia menanam padi yang sering ia bagi kepada murid-muridnya setelah panen(dalam bentuk beras tentunya), menurut mama beras dari “Aji” sangat nikmat.
Saat tiba di sawah “Aji” terlihat agak kaget,namun ia menyambut kami, lalu beliau mempersilahkan kami naik ke rumah sawahnya, kamipun dengan semangat memanjat tangga kayu yang tidak terlalu tinggi itu, orang dewasa bisa naik tanpa tangga. Seperti biasa kami menyanyikan lagu “Mars” kami,kira-kira seperti ini
Bismillahirahmanirahim
“…e puankku patajangeng lalo k’ atikku ya Monroe ri matanna essoe ri lalenna lino barakkadalaha ilahailalah…kunfayakun…” (lupa-lupa ingat)
kami mengaji bergantian, agin sepoi yang sejuk dan hawa dari padi yang masih hijau membuat suasana hati “Aji” terlihat sangat positif, biasanya Aji sangat tegas saat kami salah mengeja atau salah melafalkan huruf Al-Quran,biasanya paha kami kena tinju, tapi itu demi kebaikan kami, seandainya Aji masih di dekatku saat ini mungkin aku sudah tamat Al-Qur’an puluhan kali, sayangnya aku harus pindah tidak lama setelah aku tamat Al-Qur’an untuk pertama kalinya. Terakhir aku bertemu Aji saat acara syukuran tamat Al-Quranku yang terpaksa dilaksanankan di Bone karena SK kepindahan ayah yang keluar mendadak.Aji Jauh-jauh datang dari Soppeng hanya untuk menghadiri acara itu, acara yang memang tidak sah tanpa kehadirannya.
Selama mengaji dengan Aji, mencuci piring, menyapu hal rumah, mencabut rumput bahkan hingga menumbuk padi dalam lesung menggunakan bambu pernah kukerjakan bersama teman mengaji yang lain. Kami diajarkan bekerja, selalu saja setiap sebelum atau sesudah mengaji ada saja pekerjaan yang harus kami kerjakan.
Bukan hanya soal benar salahnya bacaan kami saat mengaji, Aji juga sangat tegas mengenai absensi meskipun sebenarnya kami tidak pernah diabsen, beliau akan sangat marah jika kami bolos sehari saja. Namun beliau tidak pernah keberatan jika alasan kita adalah membantu orang tua, bahkan walau hanya sekadar mencuci piring.
Burung-burung kecil terus berdatangan, membuat konsentrasi Aji terpecah, akhirnya Aji meminta kami mengakhiri bacaan kami
“sadakallahulaziiiimmm..”
Mengaji bersama Aji tidak perlu membayar apapun,malah Aji yang sering member kami sesuatu hanya saja waktu pertama kami harus membawa beberapa kebutuhan,seperti kelapa muda, gula, merah, jarum, dll.Masyarakat welongnge memang terkenal dengan adat istiadat yang kental. Sampai sekarang aku tidak begitu paham maksud semua itu, namun seingatku aji pernah menjelaskan bahwa semua itu adalah symbol, gula yang merupakan perlambang bahwa saat menuntut ilmu kami adalah saat-saat yang manis, dan jarum mewakili ketajaman agar otak kami bisa lebih tajam mencerna apa yang Aji ajarkan, kira-kira seperti itu yang kuingat.
Tadi sebelum sampai kami sempat memencet padi yang masih hijau untuk sekedar mencicipi rasa “beras muda” padahal sebenarnya itu dilarang, kalau Aji melihat pasti kami ditegur. Seperti biasa selalu ada pekerjaan, yap di halaman rumah-rumahan sawah Aji ada sumur pompa, kami diminta memompa dan mengisi drum yang kosong.
Belum penuh ember yang kami isi dengan air, Tuhan menurunkan rahmatnya dengan menumpahkan air ke bumi. Tanpa komando kami meninggalkan pekerjaan kami, lalu berteduh bersama Aji, menunggu hujan reda sambil menatap hamparan padi yang tidak lama lagi pasti akan dibagikan kepadaku, mungkin hanya satu atau dua liter beras harum :)